Tenggarong, 11 Juni 2025 – Badan Pendapatan Daerah (BAPENDA) Kutai Kartanegara (Kukar) serius menggenjot penerimaan pajak daerah (PAD) dari sektor sarang burung walet. Hal ini terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar pada Rabu, 11 Juni 2025, di Ruang Rapat Lantai III BAPENDA Kukar. FGD ini merupakan tahapan kedua setelah kajian awal yang telah dilakukan oleh tim UNIKARTA.

Rapat dibuka oleh Kepala BAPENDA, yang menyampaikan terima kasih atas kehadiran para peserta. Beliau menjelaskan bahwa FGD ini akan dilanjutkan dengan survei lapangan yang bekerja sama dengan Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian UNIKARTA.


Potensi Raksasa, Pajak Mini: Dilema Sarang Walet Kukar

Dalam pemaparannya, Kepala BAPENDA menyoroti ironi potensi sarang burung walet di Kukar. “Potensinya sangat besar, namun penerimaan pajak daerah dari sektor ini justru sangat kecil, bahkan menjadi salah satu yang terendah,” tegasnya. Ia menambahkan bahwa ekspor sarang burung walet dari Indonesia mencapai sekitar 500 triliun rupiah per tahun, namun data ekspor dari Kalimantan Timur nyaris tidak ada, karena prosesnya seringkali dilakukan di luar wilayah.

Berbagai upaya telah dilakukan sebelumnya, mulai dari koordinasi dengan provinsi dan kabupaten/kota se-Indonesia, hingga melibatkan MCB KPK dan karantina hewan di Jakarta, namun hasilnya belum signifikan.

Kepala BAPENDA berharap, dengan menggandeng akademisi dari UNIKARTA, akan ada kontribusi pemikiran segar untuk meningkatkan pajak sarang burung walet dari sisi potensi. Survei awal akan difokuskan di Kecamatan Muara Kaman karena efisiensi anggaran, meskipun target awalnya adalah 4-5 kecamatan. Berdasarkan survei sosial ekonomi BPS, terdapat sekitar 8.000 usaha walet di Kukar dan 18.000 di Kaltim. Hasil kajian ini diharapkan dapat diunggah ke web dan diekspos dalam seminar nasional atau internasional guna mendapatkan masukan dari berbagai kalangan.

Terkait regulasi, Peraturan Daerah (Perda) terkait sarang burung walet memang sudah ada, namun efektivitasnya perlu dikaji lebih lanjut. Koordinasi dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait seperti Disperindag, Dinas Lingkungan Hidup, Pertanian, dan DPMPTSP juga sangat penting untuk mendukung pengembangan komoditas ini.


UNIKARTA Siap Ukur Potensi dan Rumuskan Strategi

Perwakilan UNIKARTA menjelaskan tujuan utama kajian mereka. Mereka akan mengidentifikasi potensi pajak sarang burung walet yang dapat dikembangkan, memastikan potensi ini riil, dan mendapatkan data akuntabel dari pengelola usaha. Selain itu, kajian ini akan mengukur kontribusi pajak sarang burung walet terhadap PAD dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pengelolaan pajak. Analisis akan menggunakan metode SmartPLS untuk mengidentifikasi produksi riil di lapangan, serta faktor internal dan eksternal (kekuatan, kelemahan) usaha walet. Terakhir, UNIKARTA akan merumuskan strategi peningkatan penerimaan pajak sarang burung walet.

Metodologi survei akan dilakukan di lapangan dengan metode sampling (5% dari populasi di Kecamatan Muara Kaman), menggunakan kuesioner dan wawancara. Hasil penelitian diharapkan dapat dipublikasikan secara nasional maupun internasional (misalnya di jurnal Scopus) untuk diseminasi informasi dan mendapatkan masukan lebih luas. UNIKARTA juga membutuhkan data pendukung dari OPD terkait, terutama terkait harga, produksi, dan biaya dalam usaha sarang burung walet.


Tantangan Klasik: Regulasi dan Standar Budidaya yang Belum Jelas

Dinas Pertanian dan Peternakan memberikan masukan krusial, menyarankan penambahan variabel warna pada produksi sarang burung walet karena memengaruhi kualitas. Selain itu, mereka menyoroti ketiadaan standar baku untuk bangunan sarang burung walet, termasuk ukuran, desain, dan kapasitas maksimal walet.

Masalah perizinan juga menjadi perhatian. Dinas Pertanian dan Peternakan bertugas membuat rekomendasi izin usaha walet berdasarkan aplikasi OSS. Namun, banyak pelaku usaha yang tidak sadar memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) karena sering dibuatkan oleh anak atau keluarga untuk keperluan pinjaman. “Belum ada peraturan yang menguatkan standar bangunan walet atau izin yang harus dimiliki dari kepala desa/lurah/RT,” ungkap perwakilan dinas. Bahkan, Kementerian dan provinsi pun belum memiliki standar budidaya sarang walet yang jelas.

Secara teknis budidaya, sangat bervariasi di lapangan. Contohnya, penggunaan rekaman suara walet yang sama pada dua gedung bisa menghasilkan kondisi berbeda. Adapun pemasaran sarang burung walet dari Kukar rata-rata dijual kepada pengepul di Surabaya, kemudian diekspor dari sana. Kesimpulan sementara adalah belum ada standar pasti atau petunjuk teknis yang dapat dijadikan acuan untuk perizinan dan budidaya walet.


Harapan Inovasi dan Diversifikasi Produk Turunan

Menanggapi masukan dan diskusi, Kepala BAPENDA menekankan bahwa meskipun banyak yang menghindari pajak, kajian ini adalah langkah awal untuk menggali potensi. Ia berharap ada teknologi atau inovasi baru dari Dinas Pertanian dan Peternakan untuk budidaya walet, seperti penggunaan aroma atau teknologi modern lainnya, dan berharap inovasi ini bisa lahir dari Kukar sendiri, mengingat adanya badan inovasi daerah.

Pak Made dari UNIKARTA menambahkan bahwa proses pengolahan sarang walet di luar daerah (misalnya di Bali atau Tiongkok) sangat sederhana namun memberikan nilai tambah yang jauh lebih besar. Dulu, harga sarang burung walet di Kukar mencapai 20 juta per 10 kg, dan di luar bisa dijual berkali-kali lipat. Diharapkan ke depan ada diversifikasi produk turunan sarang walet, seperti susu atau produk lainnya. Kasus rumah walet yang berubah menjadi rumah jangkrik karena ketidakberhasilan menunjukkan perlunya kajian mendalam. Ke depannya, akan dilakukan klasifikasi informasi dari pengusaha atau pengelola yang berbeda untuk mendapatkan gambaran komprehensif./// Iwansyah,CRTV

admin
Author: admin

By admin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *